Nikah mut’ah mempunyai keutamaan yang agung sekali di sisi orang Rafidhah. Didalam kitab “Manhaj As Sodiqin” karangan Fathullah Al Kaasyaani dari As Sodiq (menerangkan) bahawasanya nikah mut’ah itu adalah dari ajaran agamaku dan agama bapak-bapakku, dan orang yang melaksanakannya bererti dia mengerjakan ajaran agama kita, dan orang yang mengingkarinya bererti dia mengingkari ajaran agama kita, bahkan dia memeluk agama lain dari agama kita. Dan anak (hasil) nikah mut’ah lebih mulia dari anak isteri yang tetap/sah. Orang yang mengingkari nikah mut’ah adalah kafir murtad.”[1]
Al Qummi menukilkan di dalam kitab “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih” dari Abdulah bin Sinan dari Abi Abdillah, dia berkata : “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan atas golongan kita setiap yang memabukkan dari setiap minuman, dan telah mengganti mereka dari hal itu dengan nikah mut’ah”[2].
Orang Rafidhah tidak pernah mensyaratkan (membatasi) bilangan tertentu dalam nikah mut’ah. Di dalam kitab “Furuu’ Al Kafi” dan At Tahdziib” dan “Al Istibshoor” dari Zaraarah, dari Abi Abdillah, dia berkata : “Saya telah menyebutkan kepadanya akan nikah mut’ah, apakah nikah mut’ah itu (terjadi) dari empat (yang dibolehkan), dia berkata : nikahilah dari mereka-mereka (para wanita) seribu, sesungguhnya mereka-mereka itu adalah wanita yang disewa (dikontrak). Dan dari Muhammad bin Muslim dari Abi Ja’far sesungguhnya ia berkata tentang nikah mut’ah : “Bukan nikah mut’ah itu (dilakukan) dari empat (isteri yang dibolehkan), kerana ia (nikah mut’ah) tidak ada talak, tidak mendapat warisan, akan tetapi ia itu hanyalah sewaan”[3].
Bagaimana mungkin ini, padahal Allah telah berfirman :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)
Maka jelaslah dari ayat yang mulia ini bahawa sesungguhnya apa yang dihalalkan dari nikah adalah isteri dan budak perempuan yang dimiliki, dan diharamkan apa yang lebih dari (selain) itu. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan, maka dia bukanlah isteri (yang sah), dan dia tidak boleh mendapatkan warisan dan tidak boleh ditalak. Maka dia itu adalah pelacur / wanita pezina –wal’iyaadzubillah-.
Syaikh Abdullah bin Jibriin berkata : “Orang Rafidhah berdalih dalam menghalalkan nikah mut’ah dengan ayat di surat An Nisa iaitu :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
Jawapan :
Sesungguhnya ayat ini semuanya dalam masalah nikah; dari firman Allah ayat 19 di surat An Nisa sampai 23, setelah Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi karena nasab dan sebab, kemudian Allah berfirman : Ertinya : “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Maksudnya dihalalkan bagimu menikahi selain wanita-wanita (yang disebutkan tadi) bila kamu menikahi mereka untuk bersenang-senang iaitu bersetubuh dengan halal, maka berikanlah mahar mereka yang telah kami wajibkan untuk mereka, dan jika mereka mengugurkan sesuatu dari mahar-mahar itu berdasarkan dari jiwa yang baik (keredhaan hati), maka tidak mengapa atas kamu dalam hal itu. Beginilah ayat ini ditafsirkan oleh jumhur (majoriti) sahabat dan orang-orang setelah mereka[4].
Bahkan di sisi (menurut) orang Rafidhah, telah menghalalkan menyetubuhi wanita di lubang duburnya. Perkara ini ada tercatat di dalam kitab “Al Istibshoor” dari Ali bin Al Hakam ia berkata: “Saya telah mendengar Sofwan berkata: “Saya telah berkata kepada Al Ridha: Sesungguhnya seorang lelaki dari budak-budakmu memerintahkan saya untuk menanyakan kepadamu akan suatu masalah, maka dia takut dan malu kepadamu untuk menanyakanmu, dia berkata : apa itu? Ia berkata: Apakah boleh bagi lelaki untuk menyetubuhi wanita (isterinya) di lubang duburnya? Ia menjawab: Ya, hal itu boleh baginya”[5].
--------------------------------------------------------------------------------
Rujukan :
[1] Manhaj As Sodiqiin, karangan Mulla Fathullah al Kasyaani, hal : 356
[2] “Man Laa Yahduruhu Al Faqiih”, hal : 330.
[3] Al Furuu’ min Al Kafii, (2/43), dan kitab “ At Tahdziib” (2/188).
[4] Dari perkataan Syeikh Ibnu Jibrin -semoga Allah mengangkat darjatnya-, adapun dalil dari Sunnah dalam mengharamkan nikah mut’ah adalah hadis Ar Rafi’ bin Sirah Al Juhani, sesungguhnya bapanya menceritakan kepadanya bahawa sesungguhnya ia (bapaknya) bersama Rasulullah, maka baginda bersabda : wahai Manusia sesungguhnya saya pernah mengizinkan untuk kalian bersenang-senang dengan perempuan (nikah mut’ah), dan sesungguhnya Allah sungguh telah mengharamkan hal itu (nikah mut’ah) sampai hari Kiamat, siapa yang memiliki seseorang wanita darinya maka hendaklah dia melepaskannya, dan janganlah kalian mengambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (H.R. Muslim no: 1406).
[5] Al Istibshoor, (3/243).
1 Comments
Tu yg nuar suka tuu..... Lehh sontot lubang kunyitt........ekeke
ReplyDeleteبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
PenaMinang.com tidak bertanggungjawab terhadap komentar yang diutarakan melalui ruangan ini. Ia pandangan peribadi pemilik akaun dan tidak semestinya menggambarkan pendirian sidang redaksi kami. Segala risiko akibat komen yang disiarkan menjadi tanggungjawab pemilik akaun sendiri.
Segala caci maki, kutukan, fitnah adalah antara anda dengan ALLAH Azza Wa'jal. Berilah komen dan kritikan yang membina. Insyallah kami akan cuba membalas komen-komen anda.